"Back to Nature"
Ya kata di atas telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kembali ke alam merupakan gaya hidup baru yang menunjukkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan dan dirinya sendiri. Banyak masyarakat yang telah berpindah dari pola hidup gaya lama menuju ke pola hidup kembali ke alam. Mereka tidak lagi mengkonsumsi makanan yang mengandung zat-zat kimia non alami seperti pupuk, hormon tumbuh dalam produksi pertanian, dan pestisida kimia sintesis. Kita tidak lagi mengharapkan biaya yang mahal untuk dapat mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi tinggi.
Kesadaran tentang bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian
menjadikan pertanian organik menarik perhatian baik di tingkat produsen maupun konsumen. Kebanyakan
konsumen akan memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan, sehingga mendorong
meningkatnya permintaan produk organik. Pola hidup sehat yang akrab lingkungan telah menjadi trend baru dan
telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut
aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan
(eco-labelling attributes). Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain: (i) masih banyak
sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, (ii) teknologi untuk
mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah,
pestisida hayati dan lain-lain. Walaupun pemerintah telah mencanangkan berbagai kebijakan dalam
pengembangan pertanian organik seperti ‘Go Organic 2010’, namun perkembangan pertanian organik di
Indonesia masih sangat lambat. Keadaan ini disebabkan oleh berbagai kendala antara lain kendala pasar, minat
konsumen dan pemahaman terhadap produk organik, proses sertifikasi yang dianggap berat oleh petani kecil,
organisasi petani serta kemitraan petani dengan pengusaha. Namun minat bertani terhadap pertanian organik
sudah tumbuh. Hal ini diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan petanian organik.
Pertanian organik merupakan jawaban
atas revolusi hijau yang digalakkan pada tahun
1960-an yang menyebabkan berkurangnya
kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan
akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia
yang tidak terkendali. Pertanian organik sebenarnya sudah
sejak lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam
dikenal manusia, semuanya dilakukan secara
tradisional dan menggunakan bahan-bahan
alamiah. Pertanian organik modern didefinisikan
sebagai sistem budidaya pertanian yang
mengandalkan bahan-bahan alami tanpa
menggunakan bahan kimia sintetis. Pengelolaan
pertanian organik didasarkan pada
prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan
perlindungan. Prinsip kesehatan dalam
pertanian organik adalah kegiatan pertanian
harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan
kesehatan tanah, tanaman, hewan,
bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan
karena semua komponen tersebut saling
berhubungan dan tidak terpisahkan.
Pertanian organik adalah sistem
pertanian yang holistik yang mendukung dan
mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan
aktivitas biologi tanah. Sertifikasi produk
organik yang dihasilkan, penyimpanan,
pengolahan, pasca panen dan pemasaran
harus sesuai standar yang ditetapkan oleh
badan standardisasi (IFOAM, 2008).
Menurut Badan Standardisasi
Nasional (2002), "Organik" adalah istilah
pelabelan yang menyatakan bahwa suatu
produk telah diproduksi sesuai dengan standar
produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas
atau lembaga sertifikasi resmi.
PERKEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK
DI INDONESIA
Pertanian organik modern di Indonesia
diperkenalkan oleh Yayasan Bina Sarana Bakti
(BSB), dengan mengembangkan usahatani
sayuran organik di Bogor, Jawa Barat pada
tahun 1984 (Prawoto and Surono, 2005;
Sutanto 2002). Pada tahun 2006, terdapat
23.605 petani organik di Indonesia dengan
luas area 41.431 ha, 0,09 persen dari total
lahan pertanian di Indonesia (IFOAM, 2008).
Perkembangan luas areal pertanian organik
dari tahun 2007-2011 diperlihatkan pada
Gambar 4. Pada tahun 2007 luas areal
pertanian organik di Indonesia adalah 40.970 ha, pada tahun 2008 meningkat secara tajam
sebesar 409 persen menjadi 208.535 ha.
Pertumbuhan luas pertanian organik dari tahun
2008 hingga 2009 tidak terlalu signifikan,
hanya 3 persen. Luas area pertanian organik
Indonesia tahun 2010 adalah 238,872.24 ha,
meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya
(2009). Namun pada tahun 2011 menurun
5,77 persen dari tahun sebelumnya menjadi
225.062,65 ha. Penurunan terjadi karena
menurunnya luas areal pertanian organik
tersertifikasi sebanyak 13 persen. Hal ini
disebabkan karena jumlah pelaku (petani
madu hutan) tidak lagi melanjutkan sertifikasi
produknya tahun 2011. Semakin luasnya
pertanian organik, diharapkan bisa memberikan
manfaat yang lebih luas dalam pemenuhan
permintaan masyarakat akan pangan
yang sehat dan berkelanjutan. Pertanian
organik saat ini telah berkembang secara luas,
baik dari sisi budidaya, sarana produksi, jenis
produk, pemasaran, pengetahuan konsumen
dan organisasi/ lembaga masyarakat yang
menaruh minat (concern) pada pertanian
organik.
Pada tahun 2011 luas area pertanian
organik tersertifikat adalah 90.135,30 hektar.
Area tanpa sertifikasi seluas 134.717,66 hektar, area dalam proses sertifikasi seluas
3,80 hektar. Area pertanian organik dengan
sertifikasi PAMOR seluas 5,89 hektar (Tabel
2). PAMOR adalah Penjaminan Mutu Organis
Indonesia, sebuah penjaminan partisipatif
yang dikembangkan oleh Aliansi Organis
Indonesia.
PRINSIP-PRINSIP PERTANIAN ORGANIK
Prinsip-prinsip pertanian organik
menjadi dasar dalam penumbuhan dan
pengembangan pertanian organik. Menurut
IFOAM (2008) prinsip-prinsip pertanian organik
adalah : (1) Prinsip kesehatan : pertanian
organik harus melestarikan dan meningkatkan
kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia
dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak
terpisahkan; (2) Prinsip ekologi : Pertanian
organik harus didasarkan pada sistem dan
siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan
berusaha memelihara sistem dan siklus
ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan
pertanian organik dalam sistem ekologi
kehidupan, yang bahwa produksi didasarkan
pada proses dan daur ulang ekologis. Siklussiklus
ini bersifat universal tetapi
pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal; (3)
Prinsip keadilan : Pertanian organik harus
membangun hubungan yang mampu
menjamin keadilan terkait dengan lingkungan
dan kesempatan hidup bersama; dan (4)
Prinsip perlindungan : Pertanian organik harus
dikelola secara hati-hati dan bertanggung
jawab untuk melindungi kesehatan dan
kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup.
Badan Standardisasi Nasional (2002)
menjelaskan prinsip-prinsip pertanian organik
ini secara lebih rinci. Untuk produk tanaman,
prinsip-prinsip produksi pangan organik
diterapkan pada lahan yang sedang dalam
periode konversi paling sedikit 2 (dua) tahun
sebelum penebaran benih, atau kalau
tanaman tahunan selain padang rumput,
minimal 3 tahun sebelum panen hasil pertamanya.
Berapapun lamanya masa konversi, produksi pangan organik hanya dimulai pada
saat produksi telah mendapat sistem
pengawasan dan pada saat unit produksi telah
mulai menerapkan tatacara produksi yang
telah ditentukan. Untuk produk ternak, hewan
ternak yang dipelihara untuk produksi organik
harus menjadi bagian integral dari unit
usahatani organik dan harus dikelola sesuai
dengan kaidah-kaidah organik secara standar.
Pengelolaan peternakan organik harus
dilakukan dengan menggunakan metode
pembibitan (breeding) yang alami, meminimalkan
stress, mencegah penyakit, secara progresif
menghindari penggunaan obat hewan
jenis kemoterapetika (termasuk antibiotik)
alopati kimia (chemical allopathic), mengurangi
pakan ternak yang berasal dari binatang
(misalnya tepung daging) serta menjaga
kesehatan dan kesejahteraannya.
PELUANG DAN KENDALA
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK
Peluang Pasar
Potensi pasar produk pertanian
organik di dalam negeri masih sangat kecil,
penggunaan produk organik hingga saat ini
masih terbatas pada kalangan menengah dan
atas. Hal tersebut disebabkan kurangnya
informasi tentang pentingnya produk organik
bagi kesehatan, tidak ada jaminan mutu dan
standard kualitas organik dan harga produk
pangan organik masih tergolong mahal.
Demikian juga dengan produsen pertanian
organik di Indonesia yang masih sangat
terbatas, kendala yang dihadapi oleh produsen
untuk mengembangkan pertanian organik
antara lain adalah : 1) belum ada insentif
harga yang memadai untuk produsen produk
pertanian organik, 2) perlu investasi mahal
pada awal pengembangan karena harus
memilih lahan yang benar-benar steril dari
bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi
komoditas tersebut. Produk dari Indonesia
belum banyak yang dapat bersaing di pasar
global. Baru beberapa produk yang dapat
bersaing di pasar global diantaranya baru
produk kopi Arabika yang dibudidayakan
berdasarkan prinsip pertanian organik oleh
Kelompok Tani Kopi Arabika di daerah Gayo,
Kabupaten Aceh Tengah. Produk kopi yang
diekspor telah memperoleh akreditasi dari Biocoffee
IFOAM dan memperoleh label ECO dari
negeri Belanda. Untuk pasar domestik, baru
PT Bina Sarana Bakti, Cisarua yang
membudidayakan sayuran secara organik,
yang telah memiliki konsumen tetap dan
“green shop” di Jakarta (Sutanto, 2002).
Secara bisnis pertanian organik di
Indonesia masih memiliki peluang yang besar.
Dengan jumlah penduduk yang demikian
besar menjadi potensi yang besar sebagai
konsumen produk organik. Walaupun tidak
semua kalangan masyarakat Indonesia
mampu membeli hasil pertanian organik,
karena harga hasil produk pertanian organik
biasanya tergolong cukup mahal. Peluang
bisnis produk pertanian organik ini sudah mulai
banyak dimanfaatkan terbukti ada peningkatan
jumlah lahan pertanian organik Indonesia
berdasarkan data Statistik Pertanian Organik
Indonesia (Ariesusanty, 2010). Trend bahan
organik juga mulai merambah ke rumah
makan, hotel, restoran, catering yang
menyediakan menu organik sehat. Dari
sejumlah pengguna hasil pertanian organik,
ternyata tidak hanya pengguna langsung
melainkan pelaku bisnis lain pun mulai melirik
hasil pertanian organik untuk mereka jadikan
bahan baku makanan.
Indonesia memiliki potensi yang cukup
besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena
berbagai keunggulan komparatif antara lain :
1) masih banyak sumberdaya lahan yang
dapat dibuka untuk mengembangkan sistem
pertanian organik, 2) teknologi untuk
mendukung pertanian organik sudah cukup
tersedia seperti pembuatan kompos, tanam
tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia
belum memerlukan struktur kelembagaan
baru, karena sistem ini hampir sama halnya
dengan pertanian intensif seperti saat ini.
Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat
relevan. Namun yang paling penting lembaga
tani tersebut harus dapat memperkuat posisi
tawar petani.
Kendala Pengembangan Pertanian Organik
Kendala-kendala dalam pengembangan
pertanian organik yang bersifat makro
antara lain pasar dan kondisi iklim. Sejak dua
dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia
terhadap produk pertanian organik mulai
tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di
Eropa, merupakan salah satu pertimbangan
utama dalam pemberlakuan Council
Regulation (EEC) No. 2092/91. Namun
pertumbuhan pasar produk pertanian organik
masih lambat. Konsumen produk organik
masih terbatas pada orang-orang yang
memiliki keperdulian tinggi terhadap
kelestarian lingkungan dan kesehatan.
Kepedulian tersebut mendorong mereka
bersedia memberikan premium harga terhadap
produk-produk organik. Pasar produk domestik
terhadap pertanian masih belum tumbuh.
Kadang-kadang di Supermarket dijual produk pertanian tertentu dengan diberi tulisan
organik, bukan organik dari lembaga
berwenang. Gejala ini memperlihatkan
keterbatasan pasar domestik yang masih akan
menjadi kendala utama dalam jangka pendek
dan jangka menengah.
Kendala yang bersifat mikro adalah
kendala yang dijumpai di tingkat usaha tani,
khususnya petani kecil. Beberapa kendala
mikro tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
(1) Petani belum banyak yang beminat untuk
bertani organik. Keenganan tersebut terutama
masih belum jelasnya pasar produk pertanian
organik, termasuk premium harga yang
diperoleh. Minat petani untuk mempraktekkan
pertanian organik ini akan meningkat apabila
pasar domestik dapat ditumbuhkan. Oleh
karena itu, upaya mempromosikan
keunggulan-keunggulan produk pertanian
organik kepada para konsumen perlu
digiatkan; (2) Kurangnya pemahaman para
petani terhadap sistem pertanian organik.
Pertanian organik sering dipahami sebatas
pada praktek pertanian yang tidak
menggunakan pupuk anorganik dan pestisida.
Seperti telah dikemukakan diatas, pengertian
tentang sistem pertanian organik yang benar
perlu disebarluaskan pada masyarakat.
Sebagai acuan untuk penyebarluasan
pengertian pertanian organik sebaiknya
menggunakan standar dasar yang dirumuskan
oleh IFOAM dan SNI; (3) Organisasi di tingkat
petani merupakan kunci penting dalam
budidaya pertanian organik. Hal ini terkait
dengan masalah penyuluhan dan sertifikasi.
Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil
akan sulit diwujudkan tanpa dukungan
organisasi petani. Di beberapa daerah
organisasi petani sudah terbentuk dengan
baik, tetapi masih banyak yang belum
terbentuk dengan baik. Dorongan pemerintah
agar para petani membentuk asosiasi seperti
yang terjadi pada akhir-akhir ini, khususnya di
sektor perkebunan, akan dapat berdampak
positif terhadap pengembangan agribisnis
produk organik; dan (4) Kemitraan petani dan
pengusaha, upaya membentuk hubungan
kemitraan antara petani dan pengusaha masih
belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan petani. Kemitraan antara petani
dan pengusaha merupakan salah satu kunci
sukses dalam pengembangan produk
pertanian organik, khususnya apabila
diarahkan untuk eksport. Pola kemitraan ini sering disebut dengan pola bapak angkat.
Dalam hal ini pengusaha sebagai bapak
antara lain berkewajiban memasarkan produk
yang dihasilkan kelompok tani, memfasilitasi
kegiatan penyuluhan, mengurus sertifikasi,
dan menyalurkan saprodi (Mawardi, 2002).
Apabila kondisi sudah memungkinkan, fungsi
pengusaha sebagai bapak angkat dapat
digantikan oleh koperasi yang dimiliki oleh
para petani sendiri.
Sumber :
Ariesusanty, L., S. Nuryanti, R. Wangsa. 2010.
Statistik Pertanian Organik Indonesia.
AOI. Bogor.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2002. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6729- 2002. Sistem Pangan Organik. Jakarta.
IFOAM. 2008. The World of Organic Agriculture -
Statistics & Emerging Trends 2008.
http://www.soel.de/fachtheraaii
downloads/s_74_l O.pdf.
Mawardi, S. 2002. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 18 No. 2, Juni 2002.
Mayrowani, Henny. 2012. Pengembangan pertanian organik di indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi. Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 91-108
Prawoto A. and Surono I. 2005. Organic Agriculture
in Indonesia: A Wannabe Big Player in the
Organic World, http://eng. biocert.or.id/
artikel_isi.php
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik
Pemasyarakatan dan Pengembangan.
Kanisius. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar